Sejarah Istilah Zero Waste
Bumi dilihat dari satelit (Sumber ; google.com) |
Setelah penjelasan tentang Revolusi Industri pada dua artikel terakhir, penulis mengajak pembaca untuk lebih jeli dan teliti dalam mengambil sikap untuk mendukung sebuah industri atau tidak. Tentunya hal itu memang akan selalu menjadi dua mata pisau yang tidak bisa dipisahkan. Nah, seiring berkembangnya teknologi, banyaj industri yang merubah diri untuk menjadi "green company" dengan cara sebisa mungkin untuk zero waste. Dari mana sih Zero Waste itu? mari baca artikel berikut.
Istilah
Zero Waste pertama kali muncul diprakarsai oleh seorang doktor keilmuan kimia
bernama Paul Palmer di Oakland, California medio 1970an. Paul mendirikan sebuah
perusahaan profit yang bergerak dalam pemanfaatan limbah kimia. Ia
mempekerjakan ahli kimia dan beberapa supir untuk mengambil limbah dan
mengirimnya di rumah-rumah yang telah
ditentukan sebagai tempat limbah tersebut untuk kemudian di daur ulang secara
kimia. Hasil dari limbah tersebut kemudian dijual sebagai bahan kimia yang
telah bebas kontaminasi bahan lain.
Paul Palmer, Phd. (Sumber : zerowasteinstitute.org) |
Ia menyebutkan bahwa usaha yang ia lakukan pada saat itu bukanlah salah satu jenis start-up bussiness, dimana modal besar dan lahan bisnis diperlukan. Sebaliknya, ia mendapatkan “produk” yang ia jual dari limbah sebuah perusahaan elektronik yang bergerak pada pembuatan microchip secara gratis dan terjadi simbiosis mutualisme diantara Paul dan perusahaan microchip tersebut.
Ia dan
beberapa rekan kerjanya mulai mengektrasi banyak tembaga dan zat kimia lain
dari limbah tersebut. Tak disangka, produk yang ia jual pada saat itu memang
sedang banyak permintaan. Banyak pembeli yang merasa bahwa produk yang ia jual
lebih murah apabila dibandingkan perusahaan dengan produk sejenis lainnya.
Bisnisnya pun berkembang pesat, ia memanfaatkan laboratorium yang banyak
ditawarkan padanya karena bisnis yang ia lakukan sangat membantu perusahaan
kimia saat itu. Ia menyatakan bahwa perusahaanya merupakan supplier bahan kimia
laboratorium terbesar saat itu.
Dari sisi
bisnis, banyak yang bertanya bagaimana Paul bisa mengelola perusahannya yang
dalam waktu singkat menjadi besar. Paul menjawab dengan dua jawaban singkat
namun jelas, “karena kami tidak memerlukan modal dan tanpa pesaing bisnis”.
Paul memulai bisnis ini dengan modal minim namun dengan hasil besar, selanjutnya,
pada saat itu hanya perusahaan Paul lah yang menjalankan bisnis daur ulang ini.
Sehingga bisa dikataka bahwa saat itu ia menciptakan pasar monopoli untuk
perusahaanya sendiri.
Salah satu produk Lacquer Thinner saat ini (Sumber : google.com) |
Kisah awal
dari penggunaan kembali sebuah limbah produsen elektronik menjadi batu loncatan
besar bagi Paul. Kerja kerasnya tidak dimulai dari banyak alat kerja,
sebaliknya, secara sederhana ia mendapatkan limbah kimia cair dalam bentuk solvent. Solvent adalah istilah kimia untuk menggambarkan ikatan kimia suatu
senyawa yang digunakan untuk melarutkan senyawa atau material lain tanpa harus
merubah struktur kimianya (pelarut). Melihat limbah yang ia dapat berupa solvent mixture, ia bisa secara langsung menjualnya sebagai lacquer thinner. Lacquer thinner merupakan campuran pelarut yang memiliki kemampuan
untuk melarutkan resin, tinta atau material lain pada permukaan besi atau
plastik, memiliki bau menyengat dan mudah terbakar. Lacquer thinner biasanya mengandung senyawa-senyawa berikut :
Limbah
tersebut dijual setengah harga, karena pada saat itu harga lacquer thinner cukup mahal. Bisa dibayangkan keuntungan yang Paul
dapatkan apabila mendapatkan limbah itu secara gratis. Bisa diprediksi dalam
waktu singkat banyak sekali keuntungan yang ia dapatkan. Setelah mendapatkan
bantuan laboratorium gratis tersebut ia mengalami penumpukan limbah sirkuit
elektronik kaya akan tembaga ditempatnya, ratusan drum menumpuk. Tidak ada yang
ingin membeli ataupun menawar, namun ia tidak ingin membuangnya.
Contoh salah satu limbah produsen elektronik berupa PCB dan komponennya (Sumber : google.com) |
Setahun
berlalu, drum demi drum berisi sirkuit kaya tembaga kian menumpuk. Suatu hari
datang seorang teman dari Arizona mencari tembaga untuk kebutuhan produknya
yang berbentuk semacam Printed Circuit
Board (PCB). Melihat apa yang telah dikerjakan oleh Paul, kemudian Mereka
sepakat untuk membeli empat belas drum dan melakukan hal yang belum dilakukan
oleh banyak orang pada saat itu.
Empat belas
drum yang dibeli dari perusahaan Diamond Shamrock berisi Isoprene. Isoprene secara
sederhana dijelaskan sebagai bentuk monomer dari tanaman karet. Dari situ
seorang Paul melakukan eksperimen untuk membuat bahan bakar. Ia perlahan-lahan
mencampurkan Isoprene yang telah
dibeli dengan Isoprophyl Alcohol
menjadi bahan bakar untuk mobilnya. Selanjutnya, ia tak perlu lagi mengisi
bahan bakarnya selama enam bulan sebagai kendaraan operasionalnya. Apa yang ia
lakukan adalah membuat bahan bakar dari unsur alkohol yang selama ini kita
kenal sebagai Methanol atau Ethanol.
Ilustrasi Methanol (Sumber : google.com) |
Bahan bakar dengan dasar Methanol lebih efisien daripada bahan bakar fosil. Efisiensi memiliki maksud mendapatkan sesuatu yang lebih dengan usaha yang lebih minimal tanpa harus mengurangi hasil yang akan dicapai. Methanol menghasilkan angka oktan tinggi dan biaya pembuatan murah. Kendaraan saat ini untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi tidak hanya melakukan inovasi tinggi di bidang mekanisnya saja, namun juga dari kerangka dan berat kendaraan yang dibuat semakin ringan, maka semakin kecil pula usaha kendaraan untuk melaju, artinya bahan bakar yang dikeluarkan juga semakin irit. Padahal semakin ringan suatu kendaraan akan membuat potensi ketidakseimbangan kendaraan tersebut tinggi.
Pengisian methanol saat event balap mobil (Sumber : hotrod.com) |
Menurut Jason Sand dalam artikelnya di situs resmi Hotrod, methanol sangat baik digunakan pada balap mobil. Karena bisa dibakar pada suhu yang lebih dingin daripada bensin. Selain itu, methanol memiliki wide tunning saat penyetelan mesin mobil. Tapi mengapa tidak semua kendaraan memakai methanol? karena menurutnya methanol memiliki Rasio Fuel/Air (F/AR) leboh besar dari pada bensin sehingga lebih boros. Selain itu, methanol lebih masih menyebabkan mesin cepat korosi.
Berasal
dari penjualan limbah kimia, kemudian membuat bahan bakar dengan dasar Methanol belum membuat Paul berpikir
bahwa ia sedang menciptakan hal yang sekarang kita sebut dengan “Zero Waste”. Semakin lama usahanya
semakin berkembang, banyak orang menghubungi Paul untuk memecahkan masalah
mereka terkait dengan limbah kimia. Ia pun menjadi banyak rujukan orang dalam
hal mengolah chemical waste karena
kemampuannya di bidang kimia.
Kata-kata yang sering dipakai dalam kampanye Zero Waste (Sumber : google.com) |
Kini Zero
Waste System Inc. (ZWS) telah berganti kostum menjadi Zero Waste Institute
(ZWI), dimana perusahaan ini lebih berbasis pengolahan dan pendesainan limbah
untuk kebaikan alam, dan telah menggunakan istilah Reuse, Recycle, dan Reduce atau
yang saat ini popular dengan istilah “green”.
Paul juga telah menulis buku tentang apa yang ia dapatkan dari usahanya baik
berupa hal teknis maupun pengetahuan yang selama ini dan dikemas dengan judul
Zero Waste.
Sayuran dan berbagai jenis makanan vegan yang selalu menjadi objek pencemaran obat kimia pertanian (Sumber : google.com) |
Bagaimana sobat EarthMate? Sudah tahu kan istilah zero waste itu berasal dari mana? Sayangnya keinginan Paul untuk benar-benar “zero waste” kebanyakan kurang mendapat dukungan secara regulasi dari negara-negara lain, terutama negara berkembang. Penegakan hukum yang terkait dengan masalah limbah dinilai oleh banyak pihak sangat lemah terutama di negara kita ini, setuju tidak? Untuk artikel selanjutnya, apa ada request ingin membahas apa? Silahkan komentar di bawah yah, sobat EarthMate!
Alhamdulillah wa syukurillah, artikel ini sangatlah menarik dan dangat mengedukasi.
ReplyDeleteSaya ingin request untuk artikel selanjutnya yaitu beeapa banyak negara atau negara mana saja yang sekarang menerapkan Zero Waste.
Sekian dari saya,🙏